ABRAHAM LINCOLN
Bagi rakyat Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1809-1865) bukan sekedar Bapak Bangsa yang berani dan teguh memperjuangkan kesetaraan. Tapi juga pemimpin yang karakternya dimatangkan oleh asam garam keberhasilan dan kegagalan. Tak salah ia didapuk sebagai Presiden AS terhebat sepanjang sejarah.
Butuh waktu bertahun-tahun buat Lincoln dalam meniti kerja politiknya, hingga akhirnya terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-16. Kegagalan bukan cuma satu dua kali ia alami, tapi semuanya tak membuatnya mundur. Justru kesaratan pengalaman itulah yang akhirnya mengantarkan dia sebagai presiden yang disegani.
Sebagai politisi, Lincoln banyak menyampaikan pandangan teguhnya menyangkut kesetaraan, antiperbudakan, juga soal campur tangan pemerintah saat mekanisme pasar gagal. Prinsip dan pandangan-pandangan Lincoln perihal kesetaraan dan anti perbudakan boleh jadi dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai "orang biasa". Kedua orang tua Abe Lincoln -begitu ia akrab disapa- Thomas Lincoln dan Nancy Hanks adalah budak yang tak pernah mengecap bangku sekolah.
Lincoln sendiri dilahirkan di sebuah rumah kecil (banyak juga yang menyebutnya gubuk) di selatan Hardin County, Kentucky, pada 12 February 1809. Mereka sempat pindah ke Indiana, sebelum akhirnya Lincoln pergi ke Illinois untuk memulai hidup baru. Nancy Hanks meninggal karena sakit, ketika Lincoln baru sembilan tahun. Beruntung, Thomas mendapatkan Ibu baru yang tak kalah baik dari Hanks. Namanya Sarah Bush Johnston. Belakangan Lincoln mengakui, ia sangat kompak dengan ibu tirinya itu. Justru dengan bapak kandungnya sendiri, hubungan Lincoln tak terlalu dekat.
Kendati tumbuh dari keluarga miskin, ia berhasil mengenyam pendidikan (meski cuma sekitar setahun). Sadar pada keterbatasannya dalam memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, Lincoln mencoba mendapatkan sebanyak mungkin bahan bacaan dan menggali ilmu dari banyak sumber. Sampai akhirnya, ia berhasil membangun keluarga mapan, dan mengukir sejarah di dunia politik.
Tolak jabatan Gubernur
Kerja politik Lincoln diawali tahun 1832, saat ia baru berusia 23 tahun. Lincoln mengikuti pemilihan anggota Majelis Umum di negara bagian Illinois. Ia kalah dalam pemilihan itu. Kekalahan itu merupakan pukulan berat kedua yang diterimanya selama dua tahun berturut-turut. Setahun sebelumnya ia mengalami kebangkrutan dalam bisnis.
Tapi Lincoln tak patah semangat. Tahun 1834 alias dua tahun kemudian, ia kembali ke panggung politik untuk mengikuti pemilihan anggota DPR di Illinois. Kali ini perjuangannya berbuah sukses. Ia memenangkan pemilihan. Sejak itu Lincoln memperdalam ilmu Hukumnya dan berhasil memperoleh lisensi sebagai pengacara pada 1837. Pada usia begitu muda, 28 tahun, Abraham Lincoln sudah dikenal sebagai salah satu pengacara paling andal pada masa itu.
Banyak orang terkesima menyimak kepiawaiannya merangkai closing argument. Tahun. Tahun 1841, ia berkongsi dengan William Herndon -teman separtainya di Whig Party- membangun sebuah firma hukum. Seiring dengan itu, Lincoln berhasil memenangkan pemilihan DPR Illinois empat kali berturut-turut.
Tahun 1840, saat menginjak usia 31, ia sempat mengikuti pemilihan anggota senat, namun kalah. Seolah tidak mengenal kata kapok, dua tahun kemudian Lincoln kembali mengikuti pemilihan anggota kongres. Hasilnya? Lagi-lagi gagal. Jika yang mengalami orang "normal", dua kali kegagalan itu mungkin sudah cukup bikin frustasi. Tapi Lincoln, yang pada 4 November 1842 menikahi Mary Todd, gadis asal Kentucky, bukanlah "orang normal". Ia melihat kegagalan itu bukan akhir dari karier politiknya.
Pada tahun 1846 (37 tahun), Lincoln akhirnya terpilih menjadi anggota DPR AS. Namun, disitu lagi-lagi ia harus mengalami hantaman politik. Sebagai anggota DPR, ia mengkritik kebijakan Presiden Polk yang mencanangkan perang terhadap Meksiko. Ia menantang Presiden Polk untuk membuktikan kebenaran alasan yang digunakan Polk, yaitu Meksiko telah membunuhi orang-orang AS di wilayah AS sendiri. Kritik kerasnya itu tidak mendapat dukungan di parlemen. Bahkan, ia kemudian kehilangan simpati dari warga di negara bagiannya sendiri.
Selepas dari masa keanggotaannya di DPR, Lincoln meneruskan kerja politiknya dengan menjadi tim sukses calon presiden Zachary Taylor pada 1848. Banting tulang Lincoln dan timnya tidak sia-sia, Taylor berhasil menduduki kursi presiden. Pada masa akhir pemerintahan Taylor, Lincoln sempat ditawari untuk menduduki jabatan gubernur di Oregon. Tetapi Lincoln menolaknya dan lebih memilih melanjutkan profesinya sebagai pengacara.
Terdongkrak pidato mengesankan
Pekerjaan sebagai pengacara membuat Lincoln, untuk sementara "tersingkirkan" dari kehidupan politik. Ia berpraktik sebagai pengacara dari pengadilan di satu tempat ke tempat lain. Namun suatu ketika, kangennya pada dunia politik pecah juga. Pada 1854 (saat itu umurnya 45 tahun), Lincoln kembali ke tengah publik untuk menentang praktik perbudakan. Ia berpidato di tengah-tengah massa dengan mengangkat nilai moral, politik, dan ekonomi sebagai argumen terhadap praktik perbudakan. Pidato tanggal 16 Oktober itu sangat mengesankan dan dikenal sebagai "Peoria Speech".
Seusai pidato itu, nama Lincoln kembali berkibar di dunia politik. Berkat pandangan-pandangan Lincoln tentang hidup dalam kesetaraan, ia mulai dikenal publik dan pelaku politik sebagai tokoh perlawanan atas praktek perbudakan. Isu ini kebetulan bersesuaian dengan plan form yang diusung partai Republik, sebuah partai baru pada saat itu. Maka, ia pun kemudian bergabung dengan partai Republik.
Sebagai politisi di partai Republik, Lincoln kembali harus menjalani pemilihan demi pemilihan. Tahun 1854 ia sebenarnya berpeluang besar mewakili Illinois menjadi anggota senat. Akan tetapi saat itu ia lebih memilih untuk membuka jalan bagi rekan separtainya. Tahun 1856 Lincoln mengikuti nominasi pencalonan Wakil Presiden dari partai Republik, namun ia hanya berhasil menempati posisi kedua.
Walaupun "kalah", karier Lincoln sebagai politisi justru semakin meningkat. Keteguhannya untuk menentang praktik perbudakan telah membuat namanya cemerlang. Perbudakan kala itu memang menjadi salah satu isu sentral di AS. Secara garis besar, ada dua sikap atas praktik perbudakan. Kubu partai Demokrat yang dimotori oleh Stephen A. Douglas berprinsip, demokrasi menjamin keputusan warga di suatu tempat untuk meneruskan atau menolak perbudakan.
Sementara Lincoln yang menjadi corong Partai Republik mengingatkan bahwa praktik perbudakan mengancam nilai-nilai Republikanisme. Perdebatan isu itu membawa Douglas dan Lincoln berkompetisi dalam pemilihan anggota legislatif pada tahun 1858. Meskipun partai Republik memenangkan lebih banyak suara pemilih, tetapi partai Demokrat berhasil memperoleh lebih banyak kursi. Kegagalan yang sejak dulu menghampiri Lincoln, kini kembali mampir. Ia tersingkir dari pemilihan anggota senat.
Toh persaingannya dengan Douglas yang ketat dan keras banyak mengundang perhatian. Nama Lincoln mulai dikenal secara nasional. Dari politisi negara bagian, Lincoln menjelma menjadi bintang di panggung politik nasional. Ia mulai banyak diundang menyampaikan pandangan-pandangan politiknya di berbagai forum. Sampai akhirnya, lambat laun ia diterima sebagai pemimpin Partai Republik.
Menghadapi pemilihan presiden 1860, Partai Republik menjagokan Lincoln sebagai calon presiden. Dalam pemilihan itu, Lincoln kembali harus berhadapan dengan Stephen Douglas yang dicalonkan oleh Partai Demokrat. Akan tetapi berkebalikan dengan cerita sebelumnya, kali ini Lincoln sukses mengalahkan Douglas. Tanggal 6 Desember 1860, Lincoln diumumkan sebagai pemenang pemilihan presiden. Ia sekaligus menjadi orang pertama dari Paratai Republik yang memimpin negeri Paman Sam.
Menjadi negarawan
Secara resmi, Lincoln duduk di kursi kepresidenan tanggal 4 Maret 1861, saat umurnya mencapai 52 tahun. Meski sudah menduduki posisi puncak, jerih payahnya sebagai politisi tentu saja tak berakhir disitu. Pemikirannya makin bijak, terutama menyangkut persatuan dan keutuhan Amerika yang sangat dicintainya. Di saat usia melampaui stengah abad itulah, Abraham Lincoln yang amat kenyang mengenyam asam garam dunia politik, mulai bermetamorfosa dari seorang politisi menjadi seorang negarawan yang dihormati kawan maupun lawan.
Karakter itu mencuat lantaran semasa menjadi presiden, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Lincoln menjadikan jabatan presiden sebagai modal untuk menyelesaikan satu persatu persoalan yang tengah dihadapi negeri dan bangsanya.
Masalah pertama yang harus dihadapinya adalah ancaman perpecahan dan perang saudara. Persoalan ini bahkan sudah harus dipikirkan pemecahannya oleh Lincoln sebelum pelantikan. Tanggal 1 Februari 1861 tujuh negara bagian memproklamirkan diri menjadi negara konfederasi Amerika. Lincoln tidak mengakui proklamasi itu. Tak ayal, ia harus menghadapi ancaman pembunuhan di Baltimore menjelang akhir Februari 1861.
Akan tetapi, dengan kematangan pengalamannya, secara bertahap Lincoln mampu mengatasi ancaman perpecahan dan menjaga keutuhan AS. Selain itu, sesuai dengan prinsip antiperbudakan yang dipegangnya teguh, Presiden Lincoln mengeluarkan dua dekrit eksekutif yang disebut sebagai dekrit Emancipation Proclamation. Dekrit yang pertama diterbitkan pada 22 September 1862, sedangkan yang kedua pada 1 Januari 1863. Dekrit itu dikeluarkan dalam dua tahap karena konteks dan situasi Perang saudara yang sedang dihadapi negara AS pada saat itu.
Pada 1864, di usia 55 tahun, Lincoln terpilih kembali sebagai presiden Amerika Serikat. Ketika mendekati akhir peperangan, Lincoln bersikap moderat terhadap gagasan rekonstruksi, yaitu mendambakan persatuan kembali bangsa melalui kebijakan rekonsiliasi yang lunak. Sayangnya, "musuh-musuh" Lincoln di luar sana rupanya tak punya cukup kesabaran untuk melihat Amerika betul-betul bersatu dan menikmati hidup dalam kesetaraan di bawah pimpinan Lincoln.
Pada 14 April 1865, Abraham Lincoln tertembak di Ford Theatre, Washington, dan meninggal keesokan harinya. Sang Pembunuh, John Wilkes Booth adalah salah seorang pendukung konfederasi yang menentang diserahkannya tentara Konfederasi kepada Pemerintah setelah berakhirnya perang saudara.
Tragis, setelah memimpin bangsanya keluar dari kemelut, Lincoln justru menjadi presiden AS pertama yang tewas dibunuh. Sebagai politisi maupun negarawan, bapak dari empat anak (Robert Todd Lincoln, Edward Lincoln, Willie Lincoln, dan Tad Lincoln) ini memang tak pernah jeri dan selalu optimistis. Seperti penggalan ucapannya, "Let us have faith that right makes might..., let us to the dare to do our duty as we understand it." Tak ada yang bisa mengalangi Lincoln saat menjalankan tugas, tak juga ancaman senjata, yang akhirnya merenggut nyawa sang presiden berjenggot.
Kisah Lincoln akan dikenang banyak orang dengan banyak alasan. Salah satunya, Lincoln telah menunjukkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin adalah berjuang mempertahankan prinsip dan tak lelah mewujudkannya. Pemimpin bukan pemimpi yang terbangun dari tidur.
oleh Willie Purna Samadhi.
Dikutip dari Intisari edisi April 2009
Bagi rakyat Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1809-1865) bukan sekedar Bapak Bangsa yang berani dan teguh memperjuangkan kesetaraan. Tapi juga pemimpin yang karakternya dimatangkan oleh asam garam keberhasilan dan kegagalan. Tak salah ia didapuk sebagai Presiden AS terhebat sepanjang sejarah.
Butuh waktu bertahun-tahun buat Lincoln dalam meniti kerja politiknya, hingga akhirnya terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-16. Kegagalan bukan cuma satu dua kali ia alami, tapi semuanya tak membuatnya mundur. Justru kesaratan pengalaman itulah yang akhirnya mengantarkan dia sebagai presiden yang disegani.
Sebagai politisi, Lincoln banyak menyampaikan pandangan teguhnya menyangkut kesetaraan, antiperbudakan, juga soal campur tangan pemerintah saat mekanisme pasar gagal. Prinsip dan pandangan-pandangan Lincoln perihal kesetaraan dan anti perbudakan boleh jadi dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai "orang biasa". Kedua orang tua Abe Lincoln -begitu ia akrab disapa- Thomas Lincoln dan Nancy Hanks adalah budak yang tak pernah mengecap bangku sekolah.
Lincoln sendiri dilahirkan di sebuah rumah kecil (banyak juga yang menyebutnya gubuk) di selatan Hardin County, Kentucky, pada 12 February 1809. Mereka sempat pindah ke Indiana, sebelum akhirnya Lincoln pergi ke Illinois untuk memulai hidup baru. Nancy Hanks meninggal karena sakit, ketika Lincoln baru sembilan tahun. Beruntung, Thomas mendapatkan Ibu baru yang tak kalah baik dari Hanks. Namanya Sarah Bush Johnston. Belakangan Lincoln mengakui, ia sangat kompak dengan ibu tirinya itu. Justru dengan bapak kandungnya sendiri, hubungan Lincoln tak terlalu dekat.
Kendati tumbuh dari keluarga miskin, ia berhasil mengenyam pendidikan (meski cuma sekitar setahun). Sadar pada keterbatasannya dalam memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, Lincoln mencoba mendapatkan sebanyak mungkin bahan bacaan dan menggali ilmu dari banyak sumber. Sampai akhirnya, ia berhasil membangun keluarga mapan, dan mengukir sejarah di dunia politik.
Tolak jabatan Gubernur
Kerja politik Lincoln diawali tahun 1832, saat ia baru berusia 23 tahun. Lincoln mengikuti pemilihan anggota Majelis Umum di negara bagian Illinois. Ia kalah dalam pemilihan itu. Kekalahan itu merupakan pukulan berat kedua yang diterimanya selama dua tahun berturut-turut. Setahun sebelumnya ia mengalami kebangkrutan dalam bisnis.
Tapi Lincoln tak patah semangat. Tahun 1834 alias dua tahun kemudian, ia kembali ke panggung politik untuk mengikuti pemilihan anggota DPR di Illinois. Kali ini perjuangannya berbuah sukses. Ia memenangkan pemilihan. Sejak itu Lincoln memperdalam ilmu Hukumnya dan berhasil memperoleh lisensi sebagai pengacara pada 1837. Pada usia begitu muda, 28 tahun, Abraham Lincoln sudah dikenal sebagai salah satu pengacara paling andal pada masa itu.
Banyak orang terkesima menyimak kepiawaiannya merangkai closing argument. Tahun. Tahun 1841, ia berkongsi dengan William Herndon -teman separtainya di Whig Party- membangun sebuah firma hukum. Seiring dengan itu, Lincoln berhasil memenangkan pemilihan DPR Illinois empat kali berturut-turut.
Tahun 1840, saat menginjak usia 31, ia sempat mengikuti pemilihan anggota senat, namun kalah. Seolah tidak mengenal kata kapok, dua tahun kemudian Lincoln kembali mengikuti pemilihan anggota kongres. Hasilnya? Lagi-lagi gagal. Jika yang mengalami orang "normal", dua kali kegagalan itu mungkin sudah cukup bikin frustasi. Tapi Lincoln, yang pada 4 November 1842 menikahi Mary Todd, gadis asal Kentucky, bukanlah "orang normal". Ia melihat kegagalan itu bukan akhir dari karier politiknya.
Pada tahun 1846 (37 tahun), Lincoln akhirnya terpilih menjadi anggota DPR AS. Namun, disitu lagi-lagi ia harus mengalami hantaman politik. Sebagai anggota DPR, ia mengkritik kebijakan Presiden Polk yang mencanangkan perang terhadap Meksiko. Ia menantang Presiden Polk untuk membuktikan kebenaran alasan yang digunakan Polk, yaitu Meksiko telah membunuhi orang-orang AS di wilayah AS sendiri. Kritik kerasnya itu tidak mendapat dukungan di parlemen. Bahkan, ia kemudian kehilangan simpati dari warga di negara bagiannya sendiri.
Selepas dari masa keanggotaannya di DPR, Lincoln meneruskan kerja politiknya dengan menjadi tim sukses calon presiden Zachary Taylor pada 1848. Banting tulang Lincoln dan timnya tidak sia-sia, Taylor berhasil menduduki kursi presiden. Pada masa akhir pemerintahan Taylor, Lincoln sempat ditawari untuk menduduki jabatan gubernur di Oregon. Tetapi Lincoln menolaknya dan lebih memilih melanjutkan profesinya sebagai pengacara.
Terdongkrak pidato mengesankan
Pekerjaan sebagai pengacara membuat Lincoln, untuk sementara "tersingkirkan" dari kehidupan politik. Ia berpraktik sebagai pengacara dari pengadilan di satu tempat ke tempat lain. Namun suatu ketika, kangennya pada dunia politik pecah juga. Pada 1854 (saat itu umurnya 45 tahun), Lincoln kembali ke tengah publik untuk menentang praktik perbudakan. Ia berpidato di tengah-tengah massa dengan mengangkat nilai moral, politik, dan ekonomi sebagai argumen terhadap praktik perbudakan. Pidato tanggal 16 Oktober itu sangat mengesankan dan dikenal sebagai "Peoria Speech".
Seusai pidato itu, nama Lincoln kembali berkibar di dunia politik. Berkat pandangan-pandangan Lincoln tentang hidup dalam kesetaraan, ia mulai dikenal publik dan pelaku politik sebagai tokoh perlawanan atas praktek perbudakan. Isu ini kebetulan bersesuaian dengan plan form yang diusung partai Republik, sebuah partai baru pada saat itu. Maka, ia pun kemudian bergabung dengan partai Republik.
Sebagai politisi di partai Republik, Lincoln kembali harus menjalani pemilihan demi pemilihan. Tahun 1854 ia sebenarnya berpeluang besar mewakili Illinois menjadi anggota senat. Akan tetapi saat itu ia lebih memilih untuk membuka jalan bagi rekan separtainya. Tahun 1856 Lincoln mengikuti nominasi pencalonan Wakil Presiden dari partai Republik, namun ia hanya berhasil menempati posisi kedua.
Walaupun "kalah", karier Lincoln sebagai politisi justru semakin meningkat. Keteguhannya untuk menentang praktik perbudakan telah membuat namanya cemerlang. Perbudakan kala itu memang menjadi salah satu isu sentral di AS. Secara garis besar, ada dua sikap atas praktik perbudakan. Kubu partai Demokrat yang dimotori oleh Stephen A. Douglas berprinsip, demokrasi menjamin keputusan warga di suatu tempat untuk meneruskan atau menolak perbudakan.
Sementara Lincoln yang menjadi corong Partai Republik mengingatkan bahwa praktik perbudakan mengancam nilai-nilai Republikanisme. Perdebatan isu itu membawa Douglas dan Lincoln berkompetisi dalam pemilihan anggota legislatif pada tahun 1858. Meskipun partai Republik memenangkan lebih banyak suara pemilih, tetapi partai Demokrat berhasil memperoleh lebih banyak kursi. Kegagalan yang sejak dulu menghampiri Lincoln, kini kembali mampir. Ia tersingkir dari pemilihan anggota senat.
Toh persaingannya dengan Douglas yang ketat dan keras banyak mengundang perhatian. Nama Lincoln mulai dikenal secara nasional. Dari politisi negara bagian, Lincoln menjelma menjadi bintang di panggung politik nasional. Ia mulai banyak diundang menyampaikan pandangan-pandangan politiknya di berbagai forum. Sampai akhirnya, lambat laun ia diterima sebagai pemimpin Partai Republik.
Menghadapi pemilihan presiden 1860, Partai Republik menjagokan Lincoln sebagai calon presiden. Dalam pemilihan itu, Lincoln kembali harus berhadapan dengan Stephen Douglas yang dicalonkan oleh Partai Demokrat. Akan tetapi berkebalikan dengan cerita sebelumnya, kali ini Lincoln sukses mengalahkan Douglas. Tanggal 6 Desember 1860, Lincoln diumumkan sebagai pemenang pemilihan presiden. Ia sekaligus menjadi orang pertama dari Paratai Republik yang memimpin negeri Paman Sam.
Menjadi negarawan
Secara resmi, Lincoln duduk di kursi kepresidenan tanggal 4 Maret 1861, saat umurnya mencapai 52 tahun. Meski sudah menduduki posisi puncak, jerih payahnya sebagai politisi tentu saja tak berakhir disitu. Pemikirannya makin bijak, terutama menyangkut persatuan dan keutuhan Amerika yang sangat dicintainya. Di saat usia melampaui stengah abad itulah, Abraham Lincoln yang amat kenyang mengenyam asam garam dunia politik, mulai bermetamorfosa dari seorang politisi menjadi seorang negarawan yang dihormati kawan maupun lawan.
Karakter itu mencuat lantaran semasa menjadi presiden, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Lincoln menjadikan jabatan presiden sebagai modal untuk menyelesaikan satu persatu persoalan yang tengah dihadapi negeri dan bangsanya.
Masalah pertama yang harus dihadapinya adalah ancaman perpecahan dan perang saudara. Persoalan ini bahkan sudah harus dipikirkan pemecahannya oleh Lincoln sebelum pelantikan. Tanggal 1 Februari 1861 tujuh negara bagian memproklamirkan diri menjadi negara konfederasi Amerika. Lincoln tidak mengakui proklamasi itu. Tak ayal, ia harus menghadapi ancaman pembunuhan di Baltimore menjelang akhir Februari 1861.
Akan tetapi, dengan kematangan pengalamannya, secara bertahap Lincoln mampu mengatasi ancaman perpecahan dan menjaga keutuhan AS. Selain itu, sesuai dengan prinsip antiperbudakan yang dipegangnya teguh, Presiden Lincoln mengeluarkan dua dekrit eksekutif yang disebut sebagai dekrit Emancipation Proclamation. Dekrit yang pertama diterbitkan pada 22 September 1862, sedangkan yang kedua pada 1 Januari 1863. Dekrit itu dikeluarkan dalam dua tahap karena konteks dan situasi Perang saudara yang sedang dihadapi negara AS pada saat itu.
Pada 1864, di usia 55 tahun, Lincoln terpilih kembali sebagai presiden Amerika Serikat. Ketika mendekati akhir peperangan, Lincoln bersikap moderat terhadap gagasan rekonstruksi, yaitu mendambakan persatuan kembali bangsa melalui kebijakan rekonsiliasi yang lunak. Sayangnya, "musuh-musuh" Lincoln di luar sana rupanya tak punya cukup kesabaran untuk melihat Amerika betul-betul bersatu dan menikmati hidup dalam kesetaraan di bawah pimpinan Lincoln.
Pada 14 April 1865, Abraham Lincoln tertembak di Ford Theatre, Washington, dan meninggal keesokan harinya. Sang Pembunuh, John Wilkes Booth adalah salah seorang pendukung konfederasi yang menentang diserahkannya tentara Konfederasi kepada Pemerintah setelah berakhirnya perang saudara.
Tragis, setelah memimpin bangsanya keluar dari kemelut, Lincoln justru menjadi presiden AS pertama yang tewas dibunuh. Sebagai politisi maupun negarawan, bapak dari empat anak (Robert Todd Lincoln, Edward Lincoln, Willie Lincoln, dan Tad Lincoln) ini memang tak pernah jeri dan selalu optimistis. Seperti penggalan ucapannya, "Let us have faith that right makes might..., let us to the dare to do our duty as we understand it." Tak ada yang bisa mengalangi Lincoln saat menjalankan tugas, tak juga ancaman senjata, yang akhirnya merenggut nyawa sang presiden berjenggot.
Kisah Lincoln akan dikenang banyak orang dengan banyak alasan. Salah satunya, Lincoln telah menunjukkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin adalah berjuang mempertahankan prinsip dan tak lelah mewujudkannya. Pemimpin bukan pemimpi yang terbangun dari tidur.
oleh Willie Purna Samadhi.
Dikutip dari Intisari edisi April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar