MARTTI AHTISAARI
Nobel Perdamaian tahun ini terbilang istimewa karena seperti kembali ke kittah karena benar-benar diberikan kepada pelaku perdamaian. Beda dengan tahun lalu yang mengangkat isu pemanasan global (Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim dan Al Gore) atau tahun sebelumnya, tentang ekonomi kerakyatan (Mohammad Yunus). Penerima tahun ini, Martti Ahtisaari, dinilai tepat setelah kiprahnya di banyak wilayah konflik. Bekas Guru SD ini memang tak tahan melihat keributan.
Akhir 1970-an Martti Ahtisaari menjadi komisioner PBB yang memimpin tim perundingan untuk mempersiapkan kemerdekaan Namibia dari kekuasaan Afrika Selatan. Perundingan yang semula merencanakan kemerdekaan setidaknya tahun 1990, dipercepat oleh pemerintahan Presiden Reagan pada 1980. Alasannya Reagan ingin tentara Kuba pergi dari Angola, tetangga Namibia di sebelah utara. Ia ingin memastikan kemerdekaan Namibia sebagai pertukaran dengan Kuba yang merupakan perpanjangan Uni Soviet. Akhirnya, meski perlu waktu kemerdekaan Namibia pada 1989 diakui oleh lima negara yaitu Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis dan Jerman. Sebagai wujud rasa terima kasih mereka, Ahtisaari dinobatkan menjadi warganegara kehormatan Namibia.
Pada 1993, ia diutus Sekjen PBB ke negara-negara bekas Yugoslavia yang sebagian masih berkonflik. Sayang, tugas ini berhenti saat ia dipilih menjadi Presiden Finlandia (1994-2000). Tapi di masa jabatannya, ia meneruskan upaya perdamaian di Kosovo. Ia membujuk Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic untuk menerima syarat perdamaian bagi wilayah Kosovo seperti diajukan PBB. Pada masa jabatannya pula ia memprakarsai masuknya Finlandia ke Uni Eropa. Setelah itu, ia mengundang Presiden Rusia Boris Yeltsin dan presiden AS Bill Clinton ke Finlandia. Setelah tidak memperpanjang jabatan kepresidenan, pada 2000-2001 ia bersama Cyril Ramaphosa dari Independent International Comission on Decommissioning, memeriksa proses perlucutan senjata Tentara Pembebasan Irlandia (IRA) sebagai bagian dari proses perdamaian Irlandia Utara.
Lepas dari jabatan presiden ia mendirikan lembaga perdamaian Crisis Management Inisiative, dan berperan dalam proses perdamaian Aceh pada awal 2005. Konflik Aceh yang telah berlangsung 30 tahun pun berakhir dengan Kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005. Ia kemudian meneruskan pekerjaannya di Kosovo hingga mengantarkan kemerdekaan negeri itu dari Serbia pada Februari 2008.
"Saya masih ingin terus melanjutkan kerja meski kadang sadar usia sudah tidak muda lagi" kata pria berusia 71 tahun ini.
Nama lengkapnya Martti Oiva Kalevi Ahtisaari. Lahir di Viipuri, Finlandia (sekarang daerah itu menjadi bagian dari Rusia bernama Vyborg), pada 23 Juni 1937. Ayahnya, Oiva, asli Nowergia dengan nama keluarga Adolfsen. Pada 1929 ia pindah ke Finlandia, dan tahun 1937 mengganti nama belakangnya menjadi Ahtisaari yang khas Finlandia. Saat pecah Continuation War, perang "pinggiran PD II" antara Finlandia dan Uni Soviet (1941-1944), Oiva maju ke front sebagai ahli mesin peralatan perang Angkatan Darat.
Karena bahaya perang, Tyyne, istri Oiva alias ibu Martti, membawa Martti pindah ke Kuopio. Di kota kecil ini Martti masuk sekolah dasar Kuopion Lyseo dan menghabiskan masa kecilnya.
Tahun 1952 Oiva membawa keluarganya pindah ke Oulu untuk mencari pekerjaan. Di kota itu Martti tumbuh menjadi remaja yang aktif di organisasi pemuda Kristwn YMCA.
Martti juga kena wajib militer. Bahkan setelah program Wamil ia meneruskan karier ketentaraan. Wikipedia mencatat, pangkat terakhir dia sebelum keluar dari ketentaraan adalah Kapten pada Korps Cadangan AD Finlandia.
Ketika masih di militer, bayangan untuk menjadi guru, cita-citanya sejak lama, seiring muncul. Martti pun mendaftar ke sekolah calon guru di Oulu, dan ia menjalani kuliah jarak jauh. Dua tahun kemudian, 1959, ia lulus. Martti Ahtisaari menjadi guru SD. Sebagai guru ia tak ingin jadi guru yang biasa-biasa saja. Ia ingin menjadi guru berprestasi dan berwawasan. Ia pergi ke Karachi, Pakistan, untuk memimpin pendirian pusat pelatihan calon guru olahraga bagi sekolah-sekolah yang dikelola YMCA. Martti tak hanya mengurusi pemondokan peserta, ia juga mengajar para calon guru. Bagi Martti, pengalaman di Pakistan telah membuka wawasannya tentang lingkungan dan pergaulan internasional. Pekerjaan mengajar pun dirasanya cocok.
Tahun 1963 ia kembali ke Finlandia. Tidak pulang ke kota asalnya, tapi ke Helsinki. Tetap mengajar disekolah, meski ia juga menambah wawasan dengan masuk ke Helsinki Polytechnic. Di ibukota, ia aktif di LSM yang membantu negara-negara berkembang, juga bergabung dengan organisasi pelajar/mahasiswa internasional (AIESEC).
Tapi keasyikan dalam pergaulan internasional menyebabkan pekerjaan sebagai guru terlantar. Lama-lama ia bahkan tak bisa tekun meneruskan karier mengajar. Pergaulan internasional, khususnya diplomasi makin menarik hati Martti. Maka pada 1965 ia melamar ke Departemen Luar Negeri Finlandia. Ia ditempatkan di Biro Bantuan Pembangunan Internasional, bagian yang beberapa tahun kemudian ia pimpin.
Di Deplu pula Martti bertemu dengan Eeva Irmeli Hyvarinen, gadis yang usianya lebih tua. Pada 1968 keduanya menikah, kemudian memiliki anak tunggal, Marko Ahtisaari, yang kini dikenal sebagai produser musik dan musisi terkenal.
Tugas di Departemen Luar Negeri mengantarkannya pada posisi wakil pemerintah Finlandia di PBB (1977-1981). Bahkan di masa-masa kemudian, sekalipun tidak lagi menjadi wakil negaranya, ia terpilih menjadi staf Sekjen PBB. Ia memimpin misi transisi bagi kemerdekaan Namibia dari kekuasaan Afrika Selatan.
Karena perannya yang cukup besar, banyak pihak di Afrika Selatan yang benci padanya. Civil Cooperation Bureau ( lembaga intelijen Afrika Selatan ) belakangan membuka cerita, Ahtisaari pernah menjadi target penculikan. Tidak untuk dibunuh tapi "diamankan" agar proses pelepasan Namibia dari Afrika Selatan gagal. Tapi sejarah telah terjadi, Namibia merdeka.
Tahun 1993 ia dicalonkan Partai Sosial Demokrat untuk jabatan Presiden Finlandia. Ia kemudian menang dan terpilih menjadi Presiden.
Tapi "naluri" diplomatiknya tetap tinggi, ia dianggap terlalu ikut campur kebijakan luar negeri Perdana Menteri Asko Acho. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengawal referendum yang menghasilkan 56% rakyat Finlandia setuju bergabung dengan Uni Eropa.
Mungkin mirip Gus Dur saat menjabat Presiden RI, Ahtisaari juga banyak melakukan kunjungan. Di dalam negeri dan lebih-lebih ke luar negeri. Pers menjulukinya "Matka-Mara" (Mara yang suka bepergian). Mara adalah nama julukan Ahtisaari.
Pada 1998 ia menganugerahkan medali kehormatan kepada Menteri Kehutanan RI dan sebuah perusahaan raksasa kelapa sawit Indonesia. Langkah itu berbuntut dengan kecaman, baik dari masyarakat Finlandia maupun LSM. Indonesia dinilai banyak melakukan pelanggaran HAM, dan perkebunan kelapa sawit adalah kontributor terbesar perusakan hutan Indonesia.
Menghadapi tantangan yang makin kuat di dalam negeri, Ahtisaari tak mencalonkan diri lagi pada Pilpres tahun 2000. Sejak itu konstitusi Finlandia berubah, tak lagi memberi kekuasaan terlalu besar pada Presiden.
Crisis Management Initiative (CMI), lembaga independen yang bergerak dalam resolusi konflik di seluruh dunia, dia dirikan selepas dari jabatan Presiden. Kiprah pertama adalah mengiringi proses perdamaian di Irlandia (2000-2001).
Tahun 2003, sesaat setelah bom meledak di Baghdad, Irak, ia memimpin misi PBB untuk menyelidiki.
Pada 2005 Ahtisaari menjadi tuan rumah proses perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM. Pemerintah RI diwakili Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin dan GAM diwakili PM Malik Mahmud. Niat baik kedua pihak yang semula ditangkap Wakil Presiden Jusuf Kalla, diteruskan ke CMI untuk ditindaklanjuti.
Ketika ide perdamaian baru digulirkan, Ahtisaari sudah mengambil posisi teguh bahwa perdamaian harus ditegakkan. Ia mempelajari riwayat perselisihan senjata antara pemerintah RI dengan GAM, dan menilai bahwa konflik 30 tahun itu harus dihentikan.
"Saya menjadi penengah. Saya mencoba melihat segala kemungkinan jalan kompromi. Walaupun hati saya menghendaki keutuhan negara RI, tapi itu tidak saya cetuskan. Saya bersikap seperti kertas polos naif," kata Ahtisaari.
Ia menampung setiap aspirasi yang tertuang dalam draft kesepakatan, namun tetap teguh memegang prinsip-prinsip dasar agar kedua belah pihak bisa saling menerima. Ada sejumlah revisi dan lebih banyak lagi kompromi, " Itu perlu komitmen yang sangat kuat." tambah Ahtisaari.
Akhirnya sejarah mencatat kesepakatan damai antara RI dengan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Sejak itu tak ada lagi konflik di Aceh, dan semua pihak sepakat untuk mewujudkan perdamaian permanen.
Ahtisaari tak menghentikan langkahnya di sana. Ia pun mengalihkan perhatian ke Kosovo. Berbeda dengan Aceh yang ia jaga agar tak ada opsi kemerdekaan, di Kosovo ia justru melihat besarnya peluang merdeka sebagai cara utama mengakhiri konflik. Itu sama dengan yang 20-an tahun lalu ia lakukan terhadap Namibia.
"Namibia dan Kosovo berbeda dengan Indonesia. Kedua negara itu memiliki latar belakang sebagai bagian yang terpisah, dari etnis yang berbeda pula. Sedangkan Aceh, dalam sejarahnya memang bagian dari Indonesia."
Tanggal 10 Desember ini, di Oslo City Hall, Norwegia, Martti Ahtisaari menerima Anugerah Nobel Perdamain 2008. Berupa sebuah medali, sebuah diploma pribadi, dan uang 10 juta kronor Swedia ( setara AS $ 1,4 juta alias 15 miliar kurs November 2008 ). Selain berterima kasih kepada komite seleksi yang telah memilihnya, ia juga berterus terang akan memanfaatkan uang itu untuk kelangsungan kegiatan CMI. "Dana kadang menjadi penghalang besar aktifitas kami. Maka saya akan memanfaatkan hadiah ini untuk menggerakkan roda CMI agar terus berputar," katanya seperti dilansir AFP.
Bagi Pemerintah Indonesia, jasa Ahtisaari tentu sangat besar dalam perannya menjadi penengah konflik Aceh. Bagi eks GAM yang kini membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA), ia benar-benar seorang juru damai yang akhirnya muncul setelah lelah berperang. Tiga puluh tahun adalah masa yang berat dan melelahkan, sama dengan waktu yang telah dihabiskan sang juru damai Ahtisaari menjadi mediator di banyak wilayah konflik.
"Ia layak menerima Nobel. Ia sangat sabar untuk memediasi perundingan yang akhirnya berakhir dengan perdamaian. Komitmennya begitu besar untuk mewujudkan perdamaian di Aceh," komentar juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat Ibrahim Syamsuddin dalam Acehlong.com.
Minggu
Martti Ahtisaari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar